Header Ads

Sajak-sajak Kerinduan


Usiannya kurang lebih dua belas tahun. Mata sipitnya nampak begitu parau. Apalagi teriknya mentari cukup membuat keringatnya bercucuran. Jemari tangannya sibuk menawarkan lembar demi lembar koran pada pembeli di pemberhentian lampu merah. Miris melihat potret anak negeri yang jauh dari kata sejahtera.
“Kak koran, kak?”
Aku tertegun, berusaha menggenapkan pikiran-pikiran yang sedang berkecamuk.
“Boleh deh, satu. Kamu nggak sekolah dik?”. Jawabku sembari memberinya uang.
“Makasih kak. Sekolahku masuk pagi jadi siangnya aku bisa jualan koran hehe.” Seulas senyum simpul di bibirnya seolah tak ada beban. Manis sekali. Bahkan lebih manis dari mereka-mereka yang sibuk mengumbar janji-janji untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan embel-embel bersyarat.

***

Keesokan harinnya, aku sibuk bersiap pergi ke sekolah. Bukan untuk mengantar keponakan. Akan tetapi, hari ini adalah hari pertama aku mengajar, setelah kemarin mendapat panggilan oleh kepala sekolah atas diterimannya aku sebagai guru baru mata pelajaran Bahasa indonesia.
Derap sepatuku seolah menggambarkan bagaimana suasana hatiku saat ini. Agak gugup dan berkeringat dingin. Memasuki kelas dan membuat perkenalan.
“Selamat pagi anak-anak. Perkenalkan nama saya Puteri Arini. Saya guru baru mata pelajaran Bahasa Indonesia kalian menggantikan bu Ningsih. Terima kasih”. Ucapku sedikit gugup namun mantap.
“Selamat pagi juga bu Arini”. Jawab anak-anak kompak.
Syukurlah, sambutan yang sangat baik. Tapi, sebentar dari ketiga puluh siswa di kelas sepertinya aku menemukan sosok anak yang wajahnya tak asing buatku. Sejenak mengingat-ingat dan ternyata ya aku baru menyadari wajah anak yang berjualan koran kemarin siang. Aku tersenyum padanya.
“Oke anak-anak. Ibu Arini punya sedikit permintaan untuk membuat puisi dengan tema bebas. Nanti kalian maju ke depan satu persatu sambil saya absen”.
Tiga puluh menit berlalu. Akhirnya dia yang baru ku ketahui bernama Arga Prambudhi maju ke depan untuk membacakan sebuah puisi berjudul sajak-sajak kerinduan.

Duhai Ibu
Ketahuilah
Rinduku ini akut sekali
Mungkin atau tidaknya kita bisa bersama lagi
Itu bukan perkara penting
Sebab diminta atau tidak diminta
Aku akan tetap berbakti kepadamu
Melalui doa-doa panjang yang senantiasa ku panjatkan
Biarlah sajak-sajak kerinduan ini menjadi saksi engkau yang telah tiada
Bu, aku merindukanmu

Aku terenyuh. Dan sekelebat bayangan wajah ibu muncul di benakku. Tanpa sadar aku pun ikut tenggelam dalam puisi Arga. Ibu, aku sangat merindukanmu.

No comments

Powered by Blogger.