Dua Puluh Tujuh – Dua Belas
Udara dingin terasa menusuk pori-pori kulit. Pucuk-pucuk daun pun menyeruak
ke seluruh udara. Di sepanjang jalan berbatu ini bisa ku dengar suara
burung-burung menceracau. Merdu. Kabut tebal mengiringi langkahku mencari kayu
bakar di sekitar basecamp bersama teman-teman sependakian.
“Kira-kira kita sampai puncak Semeru pukul berapa ya Dim?”. Ucap Dodo
sembari menaruh kayu bakar dekat tungku buatan kami.
“Entahlah Do. Mungkin sore jika tak ada hambatan”. Jawabku singkat.
Hari masih sangat pagi. Teman-teman yang lain masih menikmati waktu
istirahat di tenda. Cuma aku yang sesekali melamun dan tersenyum. Sendirian.
Menyeduh secangkir kopi sambil membayangkan raut wajah Adinda terkait rencanaku
nanti. Ada sedikit perasaan gelisah menyelimuti. Namun aku sudah bertekad bulat
untuk segera mengungkapkan perasaanku ini kepada Adinda.
***
Menjelang sore, rombongan kami bersama para pendaki lainnya tiba di
puncak Mahameru. Istirahat sejenak. Lantas aku bersiap untuk memulai rencanaku.
“Hari ini tanggal dua puluh tujuh bulan dua belas. Disaksikan senja
pada puncak Mahameru dengan lantang ku deklarasikan bahwa aku mencintaimu,
Adinda. Bersediakah engkau menjadi partner berjuang untuk melanjutkan hidup di
masa depan?” Ucapku penuh dengan kemantapan.
Suara gaduh sorak sorai teman-teman terdengar begitu menggaung. Aku
menatap Adinda dengan penuh perasaan. Ada sedikit bulir air mata haru disana. Hening.
Lantas suara Adinda pun memecah kesunyian sore itu.
“Aku bersedia menerimamu beserta baik dan buruknya dirimu. Terima
kasih sudah menciptakan sejarah yang tak akan pernah ku lupakan. Aku juga
mencintaimu Adimas Prasetya”. Jawabnya lugas.
Aku pun bernapas lega. Tersenyum simpul. Lantas memberikan setangkai
bunga Edelweis sebagai simbol keabadian cinta kami. Hari ini di atas ketinggian
lebih dari 3000 meter puncak Mahameru. Di tanggal dua puluh tujuh bulan dua
belas aku telah berhasil melepas belenggu perasaan yang selama ini tengah
meradang. Merasa puas.
Brugggg. Aku terjatuh. “Nak... Nak... Bangun sudah pukul setengah
delapan. Bukannya kamu ada ujian hari ini?” terdengar lembut suara ibu
membangunkanku.
Pandangan mulai samar, tubuh masih terasa kaku, tangan lemas tak mampu
menggenggam erat, dahi mengerut. Dan mata pun terbuka. Sejenak ku melamun,
mengingat-ingat potongan peristiwa yang barusan terjadi. Menoleh ke arah jam
dinding. Sontak terkejut dan melompat. Sudah pukul setengah delapan lebih. Bergegas
pergi ke kamar mandi. Hari ini ada ujian penting. Aku telat.
***
Post a Comment