SENJA BERSAMAMU (02)
“brak,brak,brak” bunyi itu bergema di ruang arena pencak silat
disudut lorong, di Sore ini. Tepuk tangan mengakhiri pertarungan mereka. Seorang lelaki
berperawakan manis mendengus kecewa dan memegang bahu kirinya.
“Bagaimana kau bisa membantingku sekeras itu?”
“Wah, itu perwujudan tekadku Arzo”
“Tekad apa Didi”
“Cih, kau memanggilku begitu lagi, hari ini kan aku menang”
“tapi dua minggu lalu kau kalah, ketika kita membuat kesepakatan
DIDI” bantah Arzo sambil menekankan kata Didi diakhir kalimat. Semilir angin
sejuk diluar sana, daun – daun berguguran, langit telah mulai berubah warna
menjadi bersemu orange. Sadar akan matahari yang hendak bergeser pergi, Diana
langsung to the point
“oke sebagai hukuman karena kau kalah, aku ingin minta nomor
handphonemu”
“apa? Kita satu klub ekskul sejak kelas satu dan kau baru minta
nomorku sekarang?keterlaluan”
“he he,, mana numbermu?”
“buat apa?”
“rahasia” Diana merebut ponsel Arzo lalu melakukan panggilan agar
ia tahu nomor Arzo.
“Yup, selesai. Bye Arzo”
“Diana, sekali saja menolehlah padaku” lirih Arzo, karena terlalu
lirih Diana bahkan tak mendengar kata Arzo. Gadis berambut kuncir kuda itu pun
berlari sambil menenteng tas dan topi nya. ia memakai topi itu sambil berjalan.
Ia bersembunyi di balik tembok, karena
ia mendengar orang bercakap – cakap,
“Aku ingin kau jadi pacarku”
“Aku tidak mau” tolak seorang cowok dengan dinginnya
Hal ini berlangsung selama seminggu, Diana selalu mendengar
pernyataan cinta tak terbalas dari gadis – gadis itu selama seminggu. Yup seminggu, karena ia
selalu mendengar suara gadis yang berbeda. Setiap setelah latihan Diana
menyempatkan ke lorong diujung tempat latihan anak pencak silat itu. Bahkan
kemarin pun ia masih mendengarnya, tapi sore ini ada yang aneh, ia tak mendengar apapun, lalu
ada tangan menepuknya dari belakang,
sontak Diana kaget dan reflek membanting sang empunya tangan.
“Auh, hei gadis menyebalkan apa yang kau lakukan”
“Ferdi? Maaf “
“dua kali, kau membuatku sebal”
“maaf, ngomong – ngomong selama ini kamu yang ditembak cewek –
cewek itu selama seminggu?”
“Cih,,, untuk apa kau kemari, mau menembakku juga?”
“hei,,jawab dulu pertanyanku. Lagipula siapa juga yang mau nembak
kamu. PD banget”
“dasar menyebalkan. Eh kamu
kenal Dinda sejak kapan?”
“SMA, kenapa? Kamu suka dia?”
“aku boleh minta nomornya”
“Wah,,, kamu menolak cewek – cewek itu karena Dinda ya?”
“jangan banyak tanya, mana nomornya”
“tidak boleh karena Dinda itu milik Arzo. Bye”
Diana berkacak pinggang di depan laki – laki tampan itu, sang laki
– laki pun memperhatikan Diana yang pergi, hati lelaki itu dipenuhi amarah,
tapi entah apa yang terjadi. Matanya,
tak mampu berpindah dari sosok Diana yang jelas tidak semanis Candy kecil yang
ia kira kini adalah Dinda, sehingga ia berfikir,apa yang salah dengan matanya.
Selepas bertemu
dengan Ferdi, Diana berfikir, betapa beruntungnya Dinda. Ia disukai dua orang
sekaligus Ferdi dan Arzo, tapi yang pasti ia lebih mendukung partner
bertarungnya untuk berpasangan dengan Dinda. Diana pun melanjutkan
perjalanannya ia, berjalan menuju ke sebuah taman di samping jalan. Banyak
komunitas di taman itu,seperti komunitas pecinta fotografi,skateboard,
sepeda,bahkan para pengamen pun ada disana. Diana duduk disebuah bangku taman
ia melepas topinya dan membiarkan angin megalun lembut melewati rambutnya,menyentuh
kulitnya yang kini basah oleh keringat. Diana terasa sangat mengantuk,ia ingin tidur
tapi malam akan segera datang. Matanya tak kuat lagi menahan rasa kantuk.
Akhirnya ia pun tertidur. Diseberang jalan seorang murid laki – laki melintas
dan melihat sosok Diana sedang tidur dibangku taman. Ia menghentikan sepedanya.
Ia menghampiri gadis yang telah membuat jantungnya berdetak sejak pertama kali
mereka bertemu itu, dengan pelan – pelan. Ia ingin mengagetkan Diana, namun
ketika ia sampai didepan Diana, ia justru membelai wajah gadis itu dan menyingkirkan rambut yang
menutupi wajahnya.
Merasakan ada yang
mengusap rambutnya Diana bergumam lemah sambil masih memejamkan matanya,
“aku masih ingin tidur, aku lelah ibu, 5 menit lagi ya”
Yang diajak bicara justru memandang Diana dengan pandangan sendu,
ia pun memegang kepala gadis itu dan menaruhnya diatas pangkuannya. Ia bergumam
lirih,
“bagaimana kau bisa selemah ini Didi”
Tak jemu – jemunya si murid laki – laki ini melihat wajah Diana,
sampai satu jam kemudian Diana terbangun. “Ibu” matanya terbelalak ia seolah
melihat ibunya didepan matanya, tangannya membelai wajah murid laki – laki yang
menemaninya di bangku taman,sambil memangil “ibu,ibu aku kangen”
Yang diajak bicara hanya diam saja menunggu kesadaran gadis itu
benar – benar pulih. Sejenak kemudian sang gadis sadar, dan meminta maaf
“Maaf ya Arzo, aku tadi bermimpi tentang ibu”
“iya, ayo kuantar pulang”
Arzo dan Diana bersepeda pulang dengan cengar –cengir. Ia kemudian
membuka pembicaraan
“eh rumahmu dimana?”
“jalan ini lurus lalu belok kiri, lalu sampai ada gerbang
perumahan, kita masuk setelah itu rumah dengan cat biru. Itu rumah ayahku”
“Rumah ayahmu kan rumahmu juga”
“jangan banyak bicara tuan muda Arzo, putri ini igin segera pulang”
Arzo hanya mengangguk lalu mempercepat laju sepeda nya. baru di
belokan pertama mereka melihat seseorang sedang dipukuli, merekapun turun dan
membantu, mereka menghajar preman – preman yang
mengeroyok laki – laki berseragam itu. Dengan sigap Arzo dan Diana
menghajar preman – preman itu. Kemudian Diana mengulurkan tangan pada laki –
laki berseragam itu. Tapi yang diuluri tangan malah menampik dan berkata
“aku tak butuh bantuanmu, dasar cewek menyebalkan”
“What? Ferdi? Kau?”
“Hei kau tak apa – apa” Arzo bertanya, tapi Ferdi malah memandang
dendam pada Arzo.
“Zo, kamu pulang aja duluan, aku akan mengantar anak nakal ini
sendirian”
“Kau yakin?”
“iya”
Arzo pun pergi dengan hati khawatir, tapi ia tahu saat Diana
berkata A maka ia akan melakukan A.
“Ayo” ajak Diana
“Pergi saja sendiri”
“Baiklah aku pergi, tapi tidak sendiri”
Diana memegang tangan Ferdi dan tanpa komando ia memapah Ferdi,
menuju ke rumahnya, karena ia tak tahu dimana rumah Ferdi , maka ia akan
mengobatinya dulu di rumah lalu memulangkan anak ini. Sesampainya di rumah
Diana, rumah itu terlihat sepi, ia menunduk lesu sambil berkata lirih “aih..
ayah benar – benar belum pulang”
Meja tamu Diana
dipenuhi obat – obatan dan es untuk mengompres luka Ferdi. Lalu Diana bertanya,
“Eh rumahmu dimana?”
“aku tak punya rumah”
“Cih tidurlah disini, tapi jangan coba –coba masuk kamarku, atau
kuhajar kau”
Yang diberi peringatan malah tertidur, akhirnya Diana pasrah dan
menyelimuti Ferdi yang telah terluka. Diana pun tak tega meninggalkannya.
Karena Ferdi terus mengigau “Aku benci Ayah” lalu ia menangis, Diana pun
menghapus air mata Ferdi tapi tiba – tiba Ferdi memegang tangannya, ia pun
kaget. “hei lepaskan”
“Candy”
“cih, anak ini mengigau lagi”
Setelah beberapa menit Ferdi kembali tenang tapi ia tak mau
melepaskan tangan gadis berambut panjang itu, akhirnya gadis itu tidur sambil
duduk karena tangannya yang tak dilepas oleh Ferdi.
Mentari menyapa,dua pasang mata telah terbangun dari alam
mimpinya, ia begitu kaget ketika melihat seorang gadis sedang berada
disampingnya dan memegang tangannya. Ia kemudian berpikir “siapa sebenarnya
kau? Kenapa mataku tak mampu terlepas darimu? Kamu bukan Candy kan?”
“eh kamu sudah bangun” cengir Diana
“hem, terima kasih”
“sama – sama”
“kau tinggal sendirian?”
“iya,Ayah ku jarang pulang “
“Ibumu?”
“ia takkan pernah pulang” Diana berkata sangat lirih,tapi Ferdi
masih bisa mendengarnya.
“itu yang di dinding foto keluargamu?”
“Ah, itu iya, itu Ibu, Ayah dan yang tengah itu aku”
“wah kau manis ya ketika kecil” Ferdi beranjak mendekat pada foto,
ia memperhatikan wajah gadis kecil itu lalu memandang Diana, ia lalu bergumam
sendiri
“kau telah banyak berubah, sehingga aku tertipu”
“Apa, kau bilang apa?”
“Aku akan pergi ke sekolah duluan,terima kasih” Ferdi berlari
menuju pintu, hatinya terasa penuh kebahagiaan. Tuhan memang adil ia di
pertemukan dengan orang yang benar,
meski pada awalnya ia salah menduga. “Candy, ternyata kau adalah gadis yang
rambutnya terkuncir dan bertopi, dasar penipu” ia berlari sambil tersenyum-
senyum sendiri. Sementara itu Diana bingung
“Bukannya ini hari Minggu, dia mau ke sekolah mana?”
Pagi itu kecerahan kembali menghampiri dunia, kesalah pahaman
terurai sedikit demi sedikit. Rasa itu menunjukkan wujudnya samar – samar.
Post a Comment